Oleh: H.Tirtayasa, C.NLP., S.Ag., M.A.
Indonesia sedang menghadapi permasalahan dilematis yang tak kunjung selesai, yaitu krisis moral yang efeknya adalah permasalahan korupsi yang tak kunjung selesai. Permasalahan ini menjadi penyakit kronis yang tak kunjung selesai. Pendidikan dapat berperan dalam memberantas korupsi secara tidak langsung melalui pengaitan materi pembelajaran secara kontekstual dengan pesan-pesan yang ingin disampaikan berkenaan dengan pemberantasan korupsi (Rahayu, 2019).
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruption atau corruptus, dari kata kerja corrumpere, yang tersusun dari kata com dan rumpere. Dari bahasa Latin kata ini turun ke dalam bahasa Eropa seperti Inggris menjadi corruption, corrupt; Perancis menjadi corruption; dan Belanda menjadi corruptive (koruptie). Dari bahasa Belanda inilah kata ini turun ke bahasa Indonesia menjadi korupsi (Andi Hamzah, 2007).
Secara etiomologis, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi diartikan: busuk, palsu, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disogok, menyelewengkan uang atau barang milik perusahaan atau negara, menerima uang dengan menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk kepentingan pribadi atau orang lain (Depdikbud, 1995).
Sedangkan secara terminologis, banyak definisi yang diberikan para ahli. Robert Klitgaard (2002) mengatakan bahwa korupsi meliputi tindakan berupa: pertama, memungut uang atas layanan yang sudah seharusnya dilakukan;kedua, menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah; dan ketiga, tidak melaksanakan tugas karena lalai atau lupa. Cherry Augusta (2009) mendefinisikan korupsi sebagai ketidakadilan dalam penggunaan kekuasaan baik pada jabatan public maupun privat, untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Syed Hussein Alatas (1987) menegaskan bahwa esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Bentuk paling rendah perilaku yang terkait dengan pengkhianatan terhadap kepercayaan adalah tidak disiplin dalam bertugas, mencontek atau melakukan plagiat tulisan ilmiah. Berikutnya adalah penyalahgunaan kekuasaan seperti nepotisme, memberikan nilai bagus kepada mahasiswa karena dia anak atau kerabat pimpinan. Bentuk tertingginya adalah penyalahgunaan kekuasaan yang mendatangkan keuntungan baik untuk dirinya, keluarganya, institusi, klan dan primordial tertentu.
Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi, dijelaskan bahwa korupsi adalah usaha memperkaya/menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara baik dengan maupun tidak menggunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Dalam sejarah Islam, sebagaimana dijelaskan Syaikhudin (2010), fenomena korupsi sudah bisa ditemukan sejak periode awal lahirnya Islam, tepatnya ketika Islam telah menjadi negara atau yang lebih dikenal dengan Negara Madinah. Istilah korupsi, tersebut di dalam hadis-hadis Rasulullah saw. seringkali disebut dengan ghulul, sebuah kata benda (ism) bentukan dari kata kerja (fi’l) ghalla. Kata ghalla yang memiliki struktur morfologis ghalla (fi’l madhi), yaghullu (fi’l mudhari’), ghallan wa ghululan (ism) bermakna khana (berkhianat) (Warson Munawwir, 1997). Dikatakan berkhianat, seperti dinyatakan oleh Ibnu Qutaibah, sebagaimana dinukil Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam kitab Fath Al-Bari fi Syarh Shahih Al-Bukhari, adalah karena proses pengambilannya yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.Abu ‘Ubaid mengatakan, ghulul adalah pengkhianatan secara khusus terkait dengan persoalan harta rampasan perang. Namun, para ulama yang lain mengartikannya secara luas, bahwa ghulul adalah berkhianat dalam hal apa saja, tidak terbatas dalam harta rampasan perang. Demikian penjelasan Imam An-Nawawi dalam Syarh Nawawi ‘ala Muslim.
Ibnu Al-Asir sebagaimana dinukil Muhammad ibn Mukram ibn Manzhur Al-Afriqi Al-Mishri dalam Lisan Al-‘Arab, menerangkan bahwa kata ghulul, pada asalnya bermakna khianat dalam urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagikan. Namun kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan secara sembunyi-sembunyi. Pengertian yang senada dikemukakan oleh Imam An-Nawawi. Penulis kitab Syarah Al-Muhadzdzab ini mengatakan bahwa ghulul adalah pencurian barang rampasan perang sebelum pembagian.
Menurut Fadjar dalam (Rahmiati, Khasanah, Fatimah, dan Prihandari, 2015) pola terjadinya korupsi dapat dibedakan dalam tiga wilayah besar yaitu pertama, mercenery abuse of power, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu kewenangan tertentu yang bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-menyogok, suap, mengurangi standar volume dan atau spesifikasi penggelembungan dana (mark up). Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini adalah biasanya bersifat non politis dan dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu tinggi kedudukannya. Kedua,discretionery abuse of power, penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa dengan mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya keputusan Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan daerah/keputusan Walikota/Bupati. Ketiga,ideological abuse of power, dilakukan oleh pejabat untuk mengejar tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya.
Faktor internal penyebab korupsi adalah aspek perilaku Individu, seperti sifat tamak/rakus, moral yang kurang kuat; cenderung mudah tergoda untuk korupsi, gaya hidup yang konsumtif tidak diimbangi dengan pendapatan. Faktor eksternal penyebab korupsi adalah aspek sikap masyarakat terhadap korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Aspek ekonomi, pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Aspek politis bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Aspek organisasi, kurang keteladanan pimpinan, pengawasan lemah serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan (Suryani, 2015).
Pendidikan anti korupsi harus ditanamkan secara terpadu mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan anti korupsi ini akan berpengaruh pada perkembangan psikologis peserta. Diharapkan pendidikan mengenai anti korupsi sejak dini di sekolah dapat menciptakan anak yang memiliki kepribadian lebih mawas diri, sehingga ketika saatnya terjun ke masyarakat, anak tidak lagi mudah terpengauh dan memiliki pengetahuan yang cukup dan benar mengenai anti korupsi.
Setidaknya terdapat dua tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan anti korupsi ini. Pertama, untuk menanamkan semangat anti korupsi pada setiap anak bangsa. Melalui pendidikan ini, diharapkan semangat anti korupsi akan mengalir di dalam darah setiap generasi dan tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Jika korupsi sudah diminimalisir, maka setiap pekerjaan membangun bangsa akan maksimal. Kedua adalah, menyadari bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan Agung, melainkan juga menjadi tanggung jawab setiap anak bangsa (Handoyo, Susanti, 2014).
Pendidikan anti korupsi sangat penting diberikan oleh guru agar siswa mengenal lebih dini hal-hal yang berkenaan dengan korupsi, sehingga terciptanya generasi muda yang dengan sadar dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi, dan juga mengetahui sanksi-sanksi yang akan diterima jika seseorang melakukan korupsi (Sakinah dan Bakhtiar, 2019).
Pendidikan anti korupsi bisa dipandang sebagai inovasi pendidikan, yang merespons kebutuhan masyarakat untuk menjadikan negara ini lebih transparan, maju, dan bebas korupsi (Rahmiati et al., 2015). Wacana pendidikan anti korupsi didasarkan pada pemberantasan korupsi yang dilakukan secara integratif dan simultan yang berjalan beriringan dengan tindakan represif koruptor. Pembelajaran anti korupsi bisa diterapkan baik secara formal maupun informal. Ditingkat formal, unsur-unsur pendidikan anti korupsi dimasukkan ke dalam matapelajaran.
Menurut Teten Masduki dalam Hamuni(2014), melalui pendidikan antikorupsi pembangunan karakter bangsa yang kuat, mandiri, berkualitas serta sehat akan dapat diwujudkan demi masa depan Indonesia. Walaupun dalam proses implementasinya, harus tetap kritis, sebab dunia pendidikan juga tidak luput dari tindak pidana korupsi.
Anti korupsi adalah sebuah upaya untuk melakukan pencegahan perbuatan korupsi dengan berbagai upaya untuk meningkatkan kesadaran individu supaya tidak melakukan perbuatan korupsi, sekaligus merupakan upaya perbaikan moral Sumber Daya Manusia.Ada sembilannilai anti korupsi tersebut adalah jujur, peduli, mandiri, tanggung jawab, kerjasama, sederhana, kerja keras, berani dan adil (Mubayyinah, 2017; Sakinah dan Bakhtiar).
Mengingat pentingnya sembilan nilai anti korupsi ini untuk mencegah tejadinya korupsi, maka kesembilan nilai perlu ditanamkan melalui pendidikan anti korupsi kepada peserta didikdi sekolah.Adapun metode yang cocok digunakan dalam pendidikan anti korupsi metode demokrasi, pencarian bersama, metode keteladanan, dan live in. Metode demokrasi menekankan pencarian secara bebas dan penghayatan nilai-nilai hidup dengan langsung melibatkan peserta didik untuk menanamkan nilai-nilai tersebut dalam pendampingan dan pengarahan guru. Metode pencarian bersama menekankan dalam pencarian bersama yang melibatkan peserta dan guru. Pencarian bersama lebih berorientasi pada diskusi atas soal-soal yang aktual dalam masyarakat, dimana proses ini diharapkan menumbuhkan sikap berpikir logis, analitis, sistematis, argumentatif untuk dapat mengambil nilai-nilai hidup dari masalah yang diolah bersama. Dalam metode keteladanan, guru dapat menjadi tokoh idola dan panutan bagi anak. Dengan keteladanan guru dapat membimbing peserta didik untuk membentuk sikap yang kokoh. Keselarasan antara kata dan tindakan dari guru akan amat berarti bagi seorang peserta didik, demikian pula apabila terjadi ketidakcocokan antara kata dan tindakan guru maka perilaku peserta didik juga akan tidak benar. Dalam hal ini guru dituntut memiliki ketulusan, keteguhan, kekonsistenan hidup. Agar peserta didik mempunyai pengalaman hidup bersama orang langsung dengan situasi yang sangat berbeda dengan kehidupan sehari-harinya. Dengan pengalaman langsung peserta didik dapat mengenal lingkungan hidup yang berbeda dalam cara berpikir, tantangan, permasalahan, termasuk tentang nilai-nilai hidupnya. (Elwina dan Riyanto (2008).
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan anti korupsi harus ditanamkan secara terpadu disekolah. Pendidikan anti korupsi ini penting dilakukan di sekolah karena akan berpengaruh pada perkembangan psikologis peserta didik. Diharapkan pendidikan anti korupsi sejak dini di sekolah ini dapat menciptakan anak yang memiliki kepribadian lebih mawas diri, sehingga ketika saatnya turun ke masyarakat, anak sudah memiliki pengetahuan yang cukup dan benar mengenai anti korupsidan mereka tidak lagi mudah terpengaruh untuk melakukan korupsi.(#Salam Literasi; Indonesia_Berkarya!!!)